Jumat, 17 April 2009

relativitas kehidupan

Sejak masa kemerdekaan bangsa Indonesia dihadapakan dengan suksesi berturut berbagai kekuasaan otoriter yang berdiri diatas berbagai peralatan ideologis. Melalui alat-alat inilah social engineering dilaksanakan atas nama kebenaran dalam berbagai peristilahanya. Salah satu terminologi yang kerap dipakai adalah keadilan, toleransi, dan perdamaian abadi.
Padahal kekuasaan menjadi tujuan utama dari segala tindakan penguasa otoriter tersebut. Sistem kenegaraan dan hukum menjadi wadah sekaligus pembenaran daripada segala tindakan alat kekuasaan tersebut.
Era demokrasi membebaskan alam ekspresi pemikiran bangsa. Hal-hal yang dahulu mutlak menjadi kebenaran demi hukum (kepentingan) penguasa akhirnya tergoyahkan dan tenggelam dalam relativitas.
Politik, hukum, dan agama menjadi variabel-variabel yang tidak lagi milik kaum elit dan tunduk terhadap sebuah ukuran / standar yang baku melainkan menduduki status sebagai obyek daripada pemikiran subyek-subyek yang membahasnya.
Singkat kata, setiap orang bebas dalam menentukan sikapnya terhadap variabel-variabel tersebut. Filosofi “je pense donc je suis” Descartes belaku sehingga kebenaran menjadi milik semua (a la portee de tous).

Kenisbian dan biasnya elemen-elemen kehidupan adalah konskuensi logis daripada kebebasan berpikir. Hanya dengan menerima segala hal sebagai variabel yang konstan dan seimbang dalam nilai maka kebebasan berpikir dapat terjaga.
Melalui tulisan lepas ini diharapakan pembaca dapat membuka pikiran kepada relativitas kenyataan yang terjadi disekitar kita. Tujuan dari tulisan ini tak lain agar pembaca dapat menghargai alam kebebasan dan berusaha melindungi hak terpenting dalam demokrasi yakni « la liberte de pensee » atau kebebasan berpikir.
Krisis ekonomi dan politik yang melanda dunia serta berbagai kejadian situasi internasional melahirkan pemikiran-pemikiran yang menawarkan janji-janji palsu. Kelemahan-kelemahan demokrasi dianggap sebagai kegagalan sistem sehingga berbagai saran sistem berbasis « teologis » dan « ideologis » bermunculan.
Diharapkan melalui paparan relativitas pemikiran inilah bangsa Indonesia dapat kembali menghargai kebebasan berpikir dan menahan laju revivialisme agama yang tak lain adalah bentuk pembenaran semata dan jauh dari kebenaran mengingat kebenaran adalah relative. Patut diingat bahwa yang pasti hanyalah relativitas dan kekuasaan.

Tidak ada komentar: