Rabu, 13 Agustus 2008

Accord Nationale Sur l'anarchie Populaire

ACCORD NATIONALE SUR L'ANARCHIE POPULAIRE selanjutnya disebut dengan ANSAP merupakan dokumen yang merangkum dasar-dasar berkehidupan dalam anarki terpimpin. Isi dan pelaksanaan ANSAP tiada dapat dipaksakan dalam penerapan selain dengan persetujuan Nasional dalam bentuk konsensus terbalik (ketidaksepakatan haruslah dibuktikan dan berlandaskan alasan yang pasti dan didukung minimal setengah dari masyarakat dalam kehidupan keseharian. Bentuk penerapan ANSAP bergantung sepenuhnya daripada kebijakan wilayah dimana ANSAP akan diterapkan.

ANSAP dirumuskan dalam dwi-bahasa : Perancis Indonesia sehingga selain dapat diterapkan dalam masyarkat dapat juga dipahami dan dimengerti oleh bangsa-bangsa dunia.

ANSAP terdiri dari empat buku yang kemudian dapat ditambah maupun dikurangi dengan konsensus nasional-populer. Ke-empat buku pertama terdiri dari :
1. CODE PENAL ANARQUE-POPULAIRE / KITAB PIDANA ANARK-MASYARAKAT / PENGADILAN RAKYAT
2. CODE D'ACTION ET D'APPLICATION / KITAB ACARA HUKUM ANARK
3. DECLARATION DE LIBERTE ABSOLUT / DEKLARASI KEBEBASAN ABSOLUT

Kitab-kitab tersebut akan di-posting decara berkala hingga lengkapnya ANSAP secara keseluruhan. Semoga bermanfaat dalam pneyelesaian masalah bangsa secara menyeluruh dengan tetap mengindahakan keadilan.

Demokrasi dan Aggresivitas Mayarakat

Sejak bergulirnya proses reformasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat diamatai meningkatnya angka tindak kekerasan. Peningkatan tersebut terjadi seiring dengan menurunya popularitas dan kewibawaan negara dalam pandangan masyarakat.

Aggresivitas Masyarkat terpancar dalam cara-cara yang dipergunakan masyarakat dalam menyelesaikan problema pribadi maupun interpersonal. Pranata sosial yang dirancang demi ditegakannya keadilan berdasarkan nilai-nilai hukum modern yang berkeadilan ternyata diterabas.

Kekerasan, Pembakaran, dan pembunuhan menjadi media penyelesaian problematika sosial. Bahkan kini seolah terjadi appresiasi terhadap premanisme dan aksi-aksi sejenis ditengah masyarakat.

Singkat kata, aggresivitas masyarakat yang merupakan akibat dari misinterpretasi makna demokrasi dan pemerintahan yang dalam sikap tindaknya kian menurunkan citranya dihadapan masyarakat menambah possibilitas kekerasan.

Menyikapi hal ini sekiranya perlu diadakan suatu kodifikasi kebiasaan kekerasan dalam masyarakat sehingga dalam melaksanakan tindakan anarkis sekalipun terdapa norma-norma sakral yang harus dipatuhi. Hal ini perlu dalam rangka menegakan anarki yang berwibawa dalam masyarakat yang telah lama mengenal kehidupan beranarki sejak jaman kerajaan terdahulu.

Jumat, 01 Agustus 2008

Anarki : kemakmuran sosial dalam otonomitas

Fungsi daripada dibentuknya republic Indonesia ialah kemakmuran rakyat Indonesia secara keseluruhan dan bukan hanya segelintir elite atau negaranya saja. Ketika para “founding fathers” negeri ini merumuskan visi tentang Indonesia yang maju, makmur , sejahtera, dan otonomis, beliau-beliau berpendapat bahwa konsep sosialis-kerakyatan-lah yang sesuai dengan Indonesia.
Hanya saja, konsep sosialis ala barat tidak dapat diadopsi oleh bangsa yang demikian beragam dengan tingkat pendidikan yang rendah – mengingat politik etis baru muncul di penghukung masa colonial dan berlaku bagi golongan tertentu.
Lantas ditetapkanlah bahwa perlunya merumuskan sebuah paham yang sesuai dengan Indonesia. Dari musyawarah kalangan intelegensia luar biasa bangsa lahirlah Pancasila, terobosan luar biasa yang bercorak ke-indonesiaan.
Dalam pancasila tertuang harapan dan mimpi “founding fathers” yakni : rakyat yang makmur, cerdas, dan otonom dalam kesatuan.
Dalam perjalanan republic berbagai gejolak politik menenggelamkan visi dan misi tersebut, hasrat sosialisme tipe soviet / tiongkok menghantui Indonesia melalui PKI. Pergejolakan ideo-politis menutupi perpolitikan negeri.
Bung hatta yang masih menaruh harapan besar dalam ekonomi pancasilais memutuskan untuk meninggalkan Sukarno dan mundur dari perpolitikan. Pergejolakan berakhir dengan naiknya para teknokrat-militer dibawah kekuasaan otoriter. Staatisme menjadi nilai absolut, cita-cita otonomitas dihilangkan demi kekuasaan.
Masa-masa staatisme ini ditandai dengan meningkatnya campur tangan negara dalam segala bentuk kehidupan rakyat. Implikasi pemerintah dalam kehidupan rakyat tidak bersifat konstruktif kejiwaan melainkan material semata.
Ini merupakan sesuatu yang tidak mengherankan, mengingat tujuan sebuah pemerintahan otoriter ialah sebuah rakyat yang bodoh dan manja terhadap pemerintahan yang berkuasa penuh.
Pada masa-masa tersebut rakyat diajarkan untuk bergantung pada pemerintah, setiap langkah “dibimbing” oleh “soko guru pembangunan”. Namun pendidikan lebih buruk daripada jaman awal kemerdekaan. Segelintir elite minoritas dipelihara negara guna tetap berjalannya ekonomi sedangkan sisanya dubuai dalam subsidi dan bantuan negeri.
Sistem teknokrasi pembodohan berakhir dengan bergeraknya kaum akademisi atas dukungan penuh “Washington” yang merasa bahwa sang otoritarian mulai mendekatkan diri pada kekuatan “hijau” sehingga pantas dijatuhkan. Lagipula pada saat itu, sang otoritarian sudah sangat tua dan ancaman komunisme sudah tiada.
Merasa bahwa macan sudah tak bertaring dan singa kapitalis internasional mendukung,, para patronat akademisi melakukan agitas dan mengerakkan mahasiswa yang sebagian besar hanya bergerak demi solidaritas akademikus.
Runtuhnya sang otoriter membuka jalan bagi pemikiran baru yang sebagian besar bernapaskan liberalisme sekuler. Media massa, media cetak, akademikus, politikus, kapitalis lokal bahkan kaum marhaen kini berkiblat ke “pelacur pembawa obor Manhattan”.
Bergelimpang modal dan haus akan lebih, para “agent of change” yang tak lain adalah “agent of capitalism” menata sistem baru bernama Rechtstaat / etat de droit, yang sebenarnya tak lain adalah “messy state concept”.
Bagaimana mungkin sebuah negara yang baru dibangunkan dari alunan merdu music staatisme dipaksa mandiri, diusir dari buaian ibu pertiwi (negara) yang selama ini diperkosa oleh elite-nya sendiri ?
Para agen manhattan menamakan keadaan ini sebagai “pesta demokrasi” padahal mereka mengetahui dengan sungguh bahwa tidak ada satupun negara “demokratis” yang dapat berdiri tanpa pendidikan demokrasi bertahap terlebih dahulu.
Sepuluh tahun bergulir, tak satupun perubahan berarti terjadi, hanya ada kemiskinan yang meningkat dan kebijakkan anti-rakyat dan anti-subsidi. Kemiskinan byata namun hanya menjadi wacana kampanye politikus-politikus “pesta demokrasi”.
Dimanakah letak kesalahan rakyat ? 60 tahun lebih merdeka namun tetap miskin dan bodoh ?
Ada yang menjawab kita masih negara baru maka belum bertaring. Bila demikian bagaiman dengan Jepang yang sama hancurnya setelah kalah perang dunia ? Bagaimana dengan korea?

Le Grand secret / rahasia besar :
Baik jepang maupun Korea menerapakan filosofi pancasila dan jiwa anarki.
Berikut perumusannya :
Hal-hal yang perlu dibangun guna majunya suatu bangsa ialah pendidikan substansial dan spiritual serta yang terpenting “kognitif”. Rakyat yang maju ialah rakyat yang sadar akan pentingnya role dirinya sebagai individu vis a vis individu rakyat lain.
Disinilah jiwa gotong royong menerobos semua pembodohan hingga kini. Baik sistem koperasi maupun spontanitas gotong royong telah berbenih sejak dahulu di bangsa Indonesia. Koperasi ditawarkan oleh Proudhon untuk menggantikan sistem ekonomi berbasis liberalism keperdataan barat di eropa dan, sistem bagi hasil (yang telah lama ada di padang) terbukti kauat dalam menghadapai krisis ekonomi dalam bank-bank syariah.
Esprit de gotong- royong terbukti produktif, nilai kemasyarakatan luar biasa dan effeknya positif. Baik pemerintahan otoritarian 30 dekade maupun orde “pesta liberal” berusaha menghapuskan nilai-nilai ini melalui segala cara.
Secara empiris, semua orang berusaha menduduki tahta kepresidenan, lambang puncak staatisme negeri ini en depit / walaupun negara telah bergeser format kelembagaanya kearah legislative heavy .
Siapakah yang sekarang berhak atas pendidikan yang layak ?
Masih saja para elite peliharaan otoritarian, mereka berhak menduduki ruangan ber-ac sedangkan rakyat sebenarnya bertelanjang kaki ke sekolah beralaskan tanah. Kelas ini telah menjelma menjadi tuan-tuan setelah tiga decade menjadi peliharaan.
Akhirnya kini rakyat mulai sadar, dimana-mana staatisme mulai runtuh, rakyat bergerak secara spontan dalam crowd-crowd luar biasa dan berusaha mengahancurkan staatisme.
Pergerakkan ini tidak boleh disia-siakan, rakyat haruslah di didik sehingga dapat membentuk komunitas-komunitas otonom yang cerdas baik spiritual, substansial dan terutama kognitif. Sudah saatnya mahasiswa meninggalkan patron-patron mereka dan memelopori revolusi perorangan dalam kesatuan. Mahasiswa sekarang bertugas mendidik rakyat menjadi mandiri, cerdas dan menjadi insane yang mampu mengamalkan nilai-nilai pancasila dalam otonomitas dan bukan hanya menghapalnya.
Setiap bentuk mob harus ditumbangkan dan rakyat harus merdeka dalam bergerak, spontan, cerdas dan berjiwa besar. Disinililah peran mahasiswa dalam menanamkan doktrin anarki Indonesia diharapkan.
Doktrin anarki Indonesia bersifat konstruktif dan bertujuan membeskan bangsa dari pembodohan staatisme, penipuan “pesta-leberalisme” dan peng-khilafan fundementalisme.
Point-point doktrin anarkindo hanya 6 :
- Kemakmuran
- Otonomitas
- Trias Kecerdasan (kognitif, substansial dan spiritual)
- Kesetiakawanan
- Ketaqwaan religious-individual
- Kebebasan
Kembalilah menjadi manusia wahai bangsa Indonesia, tinggalkan anarki klasik yang destruktif, buang jauh-jauh staatisme, injak-injaklah demokrasi barat dan tolak fundemantalisme primordial. Kalian semua adalah manusia yang berarti, revolusi hidup dalam jiwa kalian masing-masing dan bukan milik siapapun.
Hukum adalah apa yang kalian (rakyat semesta) hendaki, dengan berbekal iman individual maka terciptalah keadilan, tegakkan pengadilan rakyat yang merata. Pengadilan yang menghukum secara kebersamaan baik maling ayam maupun koruptor berdasi dengan seberat-beratnya.
Vox Dei, Vox populis, suara rakyat otonom suara tuhan dan suara tuhan tidak membutuhkan sistem apapun untuk mengekangnya !!!!

“LES PETITS ESPRITS SONT TROP BLESSES DES PETITES CHOSES; LES GRANDS ESPRITS LES VOIENT TOUTES, ET N’EN SONT POINT BLESSES”
Berjiwa besarlah kaum akademika dan mari bergerak dalam otonomitas !!!!